Balairungpress
  • REDAKSI
    • LAPORAN UTAMA
    • KILAS
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
    • BERITA JOGJA
  • NALAR
    • KAJIAN
    • WAWASAN
  • REHAT
    • BUKU
    • FILM
    • SASTRA
    • OPINI
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
Pos Teratas
Sebelah Mata Penanganan Kekerasan Seksual terhadap Jurnalis
Nasib Tuntutan dan Tanggapan Mahasiswa Pasca Audiensi
Pejuang Lingkungan dan Hak Adat, Perempuan di Garda...
Jaminan Pendapatan Dasar Semesta: Solusi Ekonomi di Masa...
Kebangkitan Orde Baru di Tengah Pandemi
2020: Tahun Suram Kebebasan Pers Pasca-Reformasi
Menyoal Pekerjaan Rumah Calon Kapolri Baru
Kerentanan Tatanan Perekonomian Indonesia di Masa Pandemi
Strategi Gerakan Mahasiswa Pasca Gagalnya Audiensi Rektorat
Pemerintah Abaikan Penanganan COVID-19 di Panti Sosial

Balairungpress

  • REDAKSI
    • LAPORAN UTAMA
    • KILAS
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
    • BERITA JOGJA
  • NALAR
    • KAJIAN
    • WAWASAN
  • REHAT
    • BUKU
    • FILM
    • SASTRA
    • OPINI
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
FILMKABARNALAR

Romantika Kehidupan Sang Penari

7 May 2013

Judul Film    : Kelas Lima Ribuan

Negara          : Indonesia

Durasi           : 29 menit 56 detik

Sutradara      : Jihad Adjie

Produser       : Arifatul Choiri Fauzi

Pemain         : Ratih Dewayani dan Kukuh Riyadi

Tahun           : 2010

Adegan ketika Tantri sedang menari bersama seorang lelaki pada menit ke 18.45

Adegan ketika Tantri sedang menari bersama seorang lelaki pada menit ke 18.45

Terkadang harga diri tak lebih berharga dari uang, bahkan sebagian orang menghalalkan segala cara demi meraihnya.

Uang tak ubahnya tali “penjerat leher” yang sewaktu-waktu dapat menjadi masalah setiap orang. Di sisi lain, uang bagai nafas bagi kehidupan. Tidak ada orang yang bisa bertahan hidup tanpa uang. Pemenuhan kebutuhan hidup bagaimanapun akan selalu membutuhkan uang. Bagai kompetisi yang tak kunjung usai, setiap hari semua orang berjuang mencarinya demi bertahan hidup. Himpitan karena tuntutan kehidupan inilah yang seringkali membuat seseorang bersedia melakukan segala hal.

Film yang disutradarai oleh Jihad Adjie ini menceritakan perjuangan seorang wanita muda dalam usahanya mempertahankan hidup. Tantri, sang tokoh utama, adalah seorang penari Tayub, idola di kampungnya. Setiap malam ia menari di antara lelaki demi mendapatkansaweran (uang yang diberikan kepada penari Tayub ketika menari bersama). Setelah sang suami menceraikannya, Tantri yang hidup bersama seorang anaknya, harus membiayai hidup seorang diri. Desakan itulah yang memaksanya menjadi seorang penari terpaksa dekat dengan kehidupan malam.

Film beralur maju ini disajikan dengan latar belakang apik dalam nuansa Jawa dan kehidupan malam di Desa Ngasem, Bojonegoro. Layaknya tontonan yang sayang dilewatkan, warga beramai-ramai menyaksikan pertunjukan Tayub. Antusiasme penonton memperlihatkan minimnya hiburan bagi warga Desa Ngasem. Penggunaan bahasa dan dialek Jawa yang kental menjadikan salah satu unsur yang  semakin menghidupkan nuansa Jawa dalam film ini. Melalui gambaran sederhana inilah sutradara menawarkan perspektif lain untuk mengurai problem yang ingin ditampilkan.

Bagian awal film dibuka dengan pertunjukan pentas Tayub. Riuh penonton hanyut di antara gending dan sayup nyanyian para sinden. mSeakan ingin menggoda para lelaki yang menontonya, dengan lemah gemulai penari itu menari sambil tak hentinya tersenyum. Para lelaki itu berhambur ke arena pentas untuk ikut menari, meskipun hanya menyawer tidak lebih dari lima ribu. Para penari mengambil setiap lembar uang yang diberikan sembari tak hentinya tersenyum.

Ketika seorang lelaki tengah menikmati tarian bersama salah sorang penari, tiba-tiba datang laki-laki lain yang memegang botol minuman keras kemudian memukulkan ke kepalanya. Terlihat di sekitar arena pentas meja-meja penuh berserakan kulit kacang dan botol minuman keras. Kondisi tersebut menunjukkan suatu keadaan yang rentan dengan kericuhan. Sontak para pengiring gamelanmenghentikan permainannya. Mereka berhambur ke pementasan untuk menolongnya. Beberapa penonton berusaha ikut melerai agar kondisi tidak semakin kacau. Sesaat kemudian, polisi datang mengamankan keadaan.

Inilah awal dari permasalahan yang terjadi. Belakangan aparat kepolisian menilai bahwa pementasan Tayub telah melanggar Undang-Undang Pornoaksi dan Pornografi. Selain itu, pemantasan Tayub mudah mengundang kericuhan yang meresahkan warga. Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, aparat meminta agar pementasan Tayub dihentikan. Secara resmi beberapa kali surat peringatan dialamatkan ke rumah para penari tersebut, tetapi mereka tidak menghiraukannya. Pementasan Tayub tetap berlangsung seperti hari-hari biasa tanpa ada kendala.

Alur selanjutnya, film ini menggambarkan kehidupan Tantri lebih mendalam. Hal tersebut dapat dilihat dari Tantri yang tinggal di sebuah rumah kecil dengan anak dan ibunya. Rumah sederhananya hanya terdiri dari beberapa ruang. Tidak terlihat barang mewah di dalamnya, yang ada hanyalah sebuah sofa lusuh berserta meja kayu dan mesin jahit tua di ruang tamu. Tantri memiliki ibu yang kerap dipanggil Mbah Mangun. Ia menjaga cucunya ketika Tantri sedang bekerja. Hatinya sedih melihat kondisi yang serba terbatas. Mbah Mangun menyarankan agar Tantri mencari pekerjaan lain. Akan tetapi menurut Tantri, gaji pekerjaan lain seperti menjadi penjaga toko tidak cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari. Itulah sebabnya ia lebih memilih bekerja sebagai penari Tayub, meski berada di bawah tekanan aparat.

Tantri harus bekerja sejak malam hingga pagi dan meninggalkan keluarganya, sementara sang mantan suami bersenang-senang dengan wanita lain. Penggambaran cerita dalam film ini semakin kompleks dengan munculnya tokoh-tokoh baru. Ketika alur tengah menceritakan kehidupan tokoh utama, muncullah tokoh Sapto sebagai kekasih Tantri. Sapto adalah seorang pemuda yang berambisi menjadi seorang polisi. Suatu malam, ketika Sapto menjemput Tantri di tempat kerja, ia berbincang dengan Pak Lurah yang tak sengaja ditemuinya. Sapto menanyakan mengenai tes kepolisian yang diikuti. Belakangan diketahui, bahwa Sapto meminta bantuan Pak Lurah agar ia dapat diloloskan dalam penyeleksian polisi. Di sini diceritakan, Pak Lurah sebagai mediator yang bertugas melobi pihak kepolisaian agar meloloskan Sapto. Sebagai gantinya, ia harus membayar sejumlah uang. Terlampau polos, Sapto yang telah rela menjual sawah itu ternyata hanya dipermainkan oleh aparat. Akhirnya, ia hanya menjadi Satuan Polisi Pamong Praja.

Film yang kaya akan pesan moral ini mampu memberikan gambaran bagi penonton mengenai realitas sosial. Realitas tersebut tergambar dalam tokoh Tantri yang rela menjadi penari Tayub dan Sapto yang rela menyogokagar diterima menjadi polisi. Hal tersebut menunjukkan bahwa pekerjaan merupakan hal penting bagi manusia. Selain itu, kritik terhadap kondisi bangsa ini juga ikut menjadi bagian cerita. Kritik disampaikan melalui adegan Pak Lurah dan aparat kepolisan yang rela melakukan hal tidak etis demi mendapatkan uang.

Film yang berhasil meraih Piala Citra dalam ajang Festival Film Indonesia (FFI) pada 2010 ini layak menjadi media untuk merefleksikan fenomena kehidupan. Kesan sederhana dalam setiap latar dapat menggugah emosi penonton. Setiap adegan dibuat sesuai dengan kenyataan yang ada, tidak ada dramatisasi secara berlebihan. Sayangnya, Kelas Lima Ribuan tidak dapat ditonton oleh semua usia karena beberapa adegannya yang dinilai kurang tepat jika ditonton anak dibawah umur. Selain itu, film berdurasi sekitar tiga puluh menit ini lebih banyak memasukkan dialek Jawa dalam percakapannya. Orang yang tidak mengerti bahasa Jawa akan kesulitan memahami film ini.

Melalui film ini, Jihad bermaksud menggambarkan kondisi bangsa Indonesia. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang sedemikian memprihatinkan, sejatinya menjadi ancaman besar bagi pembangunan karakter generasi penerus bangsa. Selain itu, dari film ini dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia tidak dapat sepenuhnya terlepas dari uang.  [Pangestin Aprilia]

dokumenterfilmkelas5000antayub
0
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Membangun Perumahan Rakyat dari Masa ke Masa

Menelaah Kebijakan dan Sifat Pajak Dosa

Sri Wiyanti Eddyono : RUU PKS Penting untuk...

Dwifungsi dan Transformasi Bisnis Militer Pasca Reformasi

Kicking Away the Ladder: Kritik Ha-Joon Chang terhadap...

Waria dalam Kajian Subaltern: Pergulatan Identitas Waria, Studi...

Berikan Komentar Batal Membalas

Pos Terbaru

  • Sebelah Mata Penanganan Kekerasan Seksual terhadap Jurnalis

    19 January 2021
  • Nasib Tuntutan dan Tanggapan Mahasiswa Pasca Audiensi

    18 January 2021
  • Pejuang Lingkungan dan Hak Adat, Perempuan di Garda Terdepan

    18 January 2021
  • Jaminan Pendapatan Dasar Semesta: Solusi Ekonomi di Masa Pandemi

    17 January 2021
  • Kebangkitan Orde Baru di Tengah Pandemi

    16 January 2021

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest
Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • MASTHEAD
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2019 BPPM BALAIRUNG UGM