Balairungpress
  • REDAKSI
    • LAPORAN UTAMA
    • KILAS
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
    • BERITA JOGJA
  • NALAR
    • KAJIAN
    • WAWASAN
  • REHAT
    • BUKU
    • FILM
    • SASTRA
    • OPINI
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
Pos Teratas
Sebelah Mata Penanganan Kekerasan Seksual terhadap Jurnalis
Nasib Tuntutan dan Tanggapan Mahasiswa Pasca Audiensi
Pejuang Lingkungan dan Hak Adat, Perempuan di Garda...
Jaminan Pendapatan Dasar Semesta: Solusi Ekonomi di Masa...
Kebangkitan Orde Baru di Tengah Pandemi
2020: Tahun Suram Kebebasan Pers Pasca-Reformasi
Menyoal Pekerjaan Rumah Calon Kapolri Baru
Kerentanan Tatanan Perekonomian Indonesia di Masa Pandemi
Strategi Gerakan Mahasiswa Pasca Gagalnya Audiensi Rektorat
Pemerintah Abaikan Penanganan COVID-19 di Panti Sosial

Balairungpress

  • REDAKSI
    • LAPORAN UTAMA
    • KILAS
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
    • BERITA JOGJA
  • NALAR
    • KAJIAN
    • WAWASAN
  • REHAT
    • BUKU
    • FILM
    • SASTRA
    • OPINI
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
BERITA JOGJA

YuK! Bergerak untuk Kebinekaan

26 June 2012

Pelataran Gedung Agung dipadati ratusan orang pada Minggu (24/6) sore. Mereka mengikuti aksi budaya yang diselenggarakan oleh Forum Yogyakarta untuk Keberagaman (YuK!). Aksi tersebut dibuat sebagai bentuk keprihatinan terhadap ancaman dan pelanggaran kebinekaan di Yogyakarta. Masyarakat yang tergabung dalam organisasi non-pemerintah beserta sejumlah elemen masyarakat sipil ikut bergabung dalam aksi budaya ini.

Naomi Srikandi, panitia aksi, mengatakan bahwa  aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama dan kepentingan

tertentu semakin marak terjadi di Indonesia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wahid Institute, tindakan intoleransi dalam beragama dan berkeyakinan di tahun 2011 naik 16% yakni sebanyak 184 kasus. Di Yogyakarta, kasus serupa juga berlangsung. Salah satunya, penyerangan diskusi Irsyad Manji. “Lewat aksi ini, kami ingin memberitahu pada masyarakat Jogja supaya semua sadar akan asas kebinekaan,” ujar Naomi.

Kasus-kasus kekerasan tersebut, menurut Naomi, tidak bisa dibiarkan terus terjadi. Toleransi itu bukan tumbuh dari rasa kalah atau takut, melainkan karena kita percaya diri dan bangga atas kebinekaan yang dimiliki. Sikap toleransi semacam ini telah tumbuh di Yogyakarta sejak lama. Sampai sekarang, kebinekaan rakyat Yogyakarta dapat terjaga. “Oleh karena itu, sikap toleransi harus dijaga dan tidak boleh ada yang merusak itu,” tegasnya. Di samping itu, Yogyakarta sebagai kota pendidikan harus bisa menjamin hak masyarakat untuk mengemukakan pendapat. “Kalau memang kebebasan berpendapat sudah dilarang, perguruan tinggi paling tidak menjadi benteng pertahanan terakhir,” tutur Naomi.

Aksi budaya bertajuk “Dari Yogyakarta untuk Indonesia Bineka” itu diisi dengan pembacaan manifesto “Yogyakarta untuk Kebinekaan” oleh Habibah, wakil dari warga Yogyakarta. Segenap peserta aksi mengikuti pembacaan manifesto tersebut, termasuk pejabat yang hadir, di antaranya Sri Sultan Hamengku Buwono X, Gubernur DIY; Dr.

Pratikno, Rektor UGM; dan Haryadi Sayuti, Wali Kota Yogyakarta. Setelah itu, teks manifesto diserahkan secara simbolik kepada Sri Sultan sebagai pemangku jabatan tertinggi di Yogyakarta dan Pratikno sebagai wakil seluruh rektor Perguruan Tinggi. “Para pemimpin itu telah diberi kepercayaan oleh masyarakat. Oleh karenanya, mereka harus menjalankan amanat tersebut,” jelas Naomi.

Kentongan pun dengan sangat gaduh dibunyikan seusai rangkaian acara berakhir. Bunyi kentongan semacam ini merupakan simbol peringatan akan bahaya yang mengancam, dalam hal ini gerakan yang tidak sesuai dengan prinsip kebinekaan. “Kita membunyikan titir (bunyi kentongan yang gaduh, red) karena perlindungan itu tidak ada. Selanjutnya, kami akan mengadakan diskusi terkait dengan isu ini,” ujar Naomi.

Aksi ini mendapat respon dari beberapa elemen masyarakat. Salah satunya, Mario, Ketua Sanggar Ulu Itah, mengaku turut mengisi acara itu karena ingin menunjukkan budaya Dayak pada masyarakat Jogja. “Selama ini budaya Dayak belum terlalu terlihat. Melalui acara ini, kami ingin menampilkan agar masyarakat Jogja tahu. Selain itu, kami juga ingin menunjukkan kesatuan dan keberagaman kita lewat acara ini,” ujar Mario. Zita, mahasiswa Jurusan Perkembangan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) 2009, pun menyatakan hal serupa. “Indonesia kan negara berbineka, maka nilai itulah yang harus diperjuangkan,” ungkapnya.[Ahmad Syarifudin, Nindias Nur Kalika]

 

aksiberagambinekabudayatoleransi
0
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Berserikat Tanpa Sekat di Ruang Rakyat

Seniman Suarakan Aspirasi dalam Aksi Ruang Rakyat

Tolak UU Cipta Kerja, Aliansi Rakyat Bergerak Serukan...

Aksi Gruduk LL Dikti Menuntut Pendidikan Gratis selama...

Tolak Omnimbus Law, Mahasiswa Longmars ke Gejayan

Orasi Masyarakat Gugat Omnibus Law

Berikan Komentar Batal Membalas

Pos Terbaru

  • Sebelah Mata Penanganan Kekerasan Seksual terhadap Jurnalis

    19 January 2021
  • Nasib Tuntutan dan Tanggapan Mahasiswa Pasca Audiensi

    18 January 2021
  • Pejuang Lingkungan dan Hak Adat, Perempuan di Garda Terdepan

    18 January 2021
  • Jaminan Pendapatan Dasar Semesta: Solusi Ekonomi di Masa Pandemi

    17 January 2021
  • Kebangkitan Orde Baru di Tengah Pandemi

    16 January 2021

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest
Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • MASTHEAD
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2019 BPPM BALAIRUNG UGM