Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • APRESIASI
    • LAPORAN UTAMA
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • KAJIAN
    • WAWASAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Pos Teratas
Rancangan Belum Matang, Rektorat Klaim Sistem UKT Baru...
Sekat Gender dalam Perburuhan Sawit di Kalimantan
Cita-Cita Karima
SSPU Tetap Jalan, Aksi Tolak Uang Pangkal Hasilkan...
Habis SSPI, Terbitlah SSPU dalam Dialog Panas Mahasiswa...
Peringati Hari Perempuan Internasional, Massa Aksi Kecam Diskriminasi...
Aksi IWD Yogyakarta Suarakan Perjuangan Melawan Patriarki
Demotivasi: Alat Menyingkap Motivasi yang Manipulatif
Dampak Neoliberalisasi, Mahasiswa Tak Lagi Berfokus pada Gerakan...
Gabung Komunitas Lomba, Mahasiswa Departemen Teknik Mesin Diancam...

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • APRESIASI
    • LAPORAN UTAMA
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • KAJIAN
    • WAWASAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
DIALEKTIKA

Kontroversi Rastafarian sebagai Agama Baru

Maret 22, 2012

Kamis (22/3) siang, bertempat di Smart Room Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Komunitas Kembang Merak menyelenggarakan diskusi buku mengenai kaum Rastafarian. Melalui buku teranyarnya, Agama Rastafarian: Tuhan, Ganja, Rambut Gimbal, dan Perlawanan, Rehan Sapto Rosada bak meramalkan masa depan agama kaum Rasta. Perdebatan atas status Rastafarian—apakah ia adalah agama ataukah jalan hidup—pun mewarnai diskusi buku siang itu.

Rehan memulai acara dengan menjelaskan ihwal gerakan Rastafarian yang bermula di Jamaika pada 1930. Menurutnya, leksem Rastafarian berasal dari nama Kaisar Afrika, Haile Selassie I, yang lebih dikenal luas dengan julukan Ras TĂ€fĂ€ri. Inti ajarannya adalah kembali ke tanah perjanjian (kaum Rasta menyebutnya “Sion”), Afrika, dan mengajak masyarakat ras negroid Afrika untuk hidup menyatu dengan alam.

Bahkan, untuk menentang diskriminasi atas perbedaan warna kulit, ras, dan agama, pada 1963, Haile Selassie I memberikan war speech. “Dalam pidatonya, ia menginginkan agar tidak ada bangsa inferior dan superior. Bila itu dipermasalahkan, akan selalu ada perang di seluruh dunia,” jelas Wobal Kincai, pelaku reggae Yogyakarta dan pemerhati rastafarian.

Gerakan Rastafarian kemudian berkembang terutama setelah Marcus Garvey menganjurkan agar mereka lepas dari jajahan masyarakat kulit putih. “Dalam sejarah, ada satu hal yang tetap, yaitu penindasan,” ungkap panelis, Jimmy Jeniarto. Menurutnya, penindasan ekonomi politik menggiring pada perlawanan, baik itu perlawanan dalam bentuk agama, budaya, ataupun ideologi sekuler.

Bermula sebagai the way of life, Rastafarian terkenal dengan enam ciri utama: konsumsi ganja,dreadlocks, makanan ital, empat warna bendera, simbol heksagram, dan jubah bergambar Lion of Judah. Rehan memaparkan keenamnya sebagai wujud ritual kaum Rastafarian. “Rastafarian bisa dianggap mengarah berubah menjadi agama budaya karena sudah dianut begitu banyak orang dan punya ritual,” ujar Rehan.

Menurut Rehan, kaum Rasta mengonsumsi ganja sebagai bentuk penghormatan pada ajaran Tuhan dalam kitab mereka. Bahkan, untuk mengolok-olok penindasan yang dilakukan masyarakat kulit putih, kaum Rasta menyesap ganja sembari membaca injil kaum Kristiani. Dengan dreadlocks (bentuk rambut gimbal), mereka mengunci rasa takut dari perintah Tuhan dan menggunakannya sebagai reaksi penolakan atas kapitalisme.

Sementara itu, Rehan menambahkan, untuk hidup, kaum Rasta sepenuhnya bergantung pada alam, mereka menyebutnya ital foods, yang berakar dari kata ‘vital’.  Mereka pun—dengan musik reggae-nya yang populer—identik dengan warna merah, hijau, emas, dan hitam; merah berarti martir, hijau bermakna kedekatan dengan alam, emas menunjukkan kekayaan Afrika, dan hitam untuk menyampaikan bahwa gerakan tersebut diprakarsai oleh orang kulit hitam. Umumnya, kaum Rasta dekat dengan simbol heksagram yang melambangkan Raja David danLion of Judah yang menjadi perlambang Ketuhanan dalam kitab mereka.

Semua ciri tersebut, ditambah dengan kepercayaan Kaum Rasta terhadap Ras TĂ€fĂ€ri sebagai juru selamat, menunjukkan benih-benih Rastafarian sebagai bentuk agama baru.  “Bahkan, UNICEF di tahun 1996 menyepakati Rastafarian sebagai suatu gerakan religius,” tambah Rehan.

Di lain pihak, Wobal, yang juga bergiat sebagai pengelola laman situs Nusareggae.or.id, menolak penyebutan Rastafarian sebagai agama. “Bahkan ketika saya menghubungi seorang teman, mereka menganggap Rastafarian sebagai livity, dari bahasa Patois, yaitu ringan seperti cahaya,” tuturnya. Namun, tambahnya, tidak semua orang berciri khas Rastafarian menganut jalan hidup itu sepenuhnya.

Karena menurut Wobal, walau masyarakat umum biasa mengasosiasikan musik reggaedengan Rastafarian, kaum Rasta sendiri tidak menggunakan reggae sebagai musik dalam ritualnya. Di perkampungan Bobo Shanti—di mana sekte Rastafarian terbesar berkumpul—mereka biasa melantunkan lagu-lagu pujian (chants) a la Nyanbinghi. Adalah film The Harder They Come yang banyak berisikan soundtrack bergenre reggae-lah yang awalnya menyebarkan musik reggae ke seluruh dunia. Dari sana kelihatan, tidak semua pemusik regga juga adalah seorang Rastafarian. “Tapi, banyak musisi awal reggae yang memang menggunakan spirit Rastafarian dalam karyanya, seperti Bob Marley, Peter Tosh, Bunny Wailers, dan Lee “Scratch” Perry,” tutur Wobal.

Menjelang akhir acara, Babon, seorang peserta diskusi yang menggemari reggae dan berambut gimbal, turut menyampaikan penolakannya.  Menurutnya, kaum Rasta tentu akan menolak keras penyebutan Rastafarian sebagai agama. Kaum Rasta mempercayai roots setiap manusia adalah sebagai seorang rasta. Bila ditanyai sejak kapan menjadi Rastaman, mereka cenderung akan menjawab “From ever since”. “Rastafarian itu filosofi mistik tentang cinta, perdamaian. Sekarang pertanyaannya, kita mau enggak menempuh jalan itu?” tandas Babon. [Dewi Kharisma Michellia]

 

 

 

 

agama barubobmarleym rastaBPPMBPPM Balairungfilsafat agamagimbalKomunitas Kembang MerakreggeugmUIN
0
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Pemilihan Pengurus Baru KATGAMA 2015

Tokoh Nasional Ajak Lawan Korupsi

Tindak Kekerasan Berkedok Perbedaan

UUK Diprediksi Tidak Panjang Umur

Bahas Perubahan Iklim, Gandeng Masyarakat Dunia

Panggung Bebas, Seni dalam Komunitas Berbeda

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Rancangan Belum Matang, Rektorat Klaim Sistem UKT Baru Lebih Adil

    Maret 27, 2023
  • Sekat Gender dalam Perburuhan Sawit di Kalimantan

    Maret 22, 2023
  • Cita-Cita Karima

    Maret 19, 2023
  • SSPU Tetap Jalan, Aksi Tolak Uang Pangkal Hasilkan Pelibatan Mahasiswa dalam Kebijakan dan Penerapan

    Maret 16, 2023
  • Habis SSPI, Terbitlah SSPU dalam Dialog Panas Mahasiswa dengan Rektorat UGM

    Maret 16, 2023

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Spesies Invasif

Polisi Virtual

Fasilitas Mahasiswa Penyandang Disabilitas di UGM Belum Maksimal

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • MASTHEAD
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM