Rencana pemberlakuan Kartu Identitas Kendaraan (KIK) kembali menuai kritik. Kali ini, mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-UGM mengadakan aksi menolak pemberlakuan kebijakan yang minim sosialisasi ini, Senin (14/6). Dalam orasinya, BEM se-UGM menganggap bahwa kebijakan ini hanya semakin membuat UGM semakin ekslusif dan jauh dari masyarakat.“Dengan adanya KIK, akses masyarakat untuk masuk UGM akan terhambat,” ungkap Aza El Munadiyan.
Menurut Aza, akses semakin terbatas karena masyarakat luar yang ingin parkir di UGM harus membayar Rp 1000 untuk sepeda motor dan Rp 2000 untuk mobil.Sebelumnya, kebijakan ini memicu kontroversi ketika beberapa media massa memberitakan mengenai parkir berbayar di UGM.
Aksi demonstrasi ini sempat memunculkan ketegangan ketika Satuan Keamanan dan Keselamatan Kampus (SKKK) menghalang-halangi mahasiswa yang ingin masuk ke Gedung Pusat. Namun, belum sempat terjadi bentrokan, pihak rektorat kemudian mengizinkan kepada para mahasiswa untuk masuk ke Gedung Pusat. Diwakili oleh Direktur Pengelolaan dan Pemeliharaan Aset, Dr.Ing Singgih Hawibowo, pihak rektorat dan mahasiswa melakukan dialog selama 30 menit.
Pihak rektorat sendiri membantah jika KIK ini menjadi bentuk dari adanya komersialisasi kampus. Seperti disebutkan Singgih, kebijakan ini justru diperlakukan untuk mengurangi tindak kejahatan yang dilakukan di dalam kampus. Selain itu juga untuk mengendalikan jumlah kendaraan di UGM yang setiap tahun semakin bertambah banyak. Namun, tidak hanya bagi masyarakat umum, mahasiswa pun diharuskan membayar untuk mendapatkan KIK. “Bagi mahasiswa angkatan setelah 2009/2010, pembuatan KIK akan dikenakan disinsentif tahunan sebesar Rp200.000 per tahun untuk mobil dan Rp50.000 per tahun untuk motor (jika memiliki lebih dari 1 motor),” tegas Singgih. [Wisnu]