Minggu (29-07), Jaringan Perempuan Yogyakarta dan Save All Women and Girls (SAWG) menggelar aksi solidaritas untuk WA, penyintas perkosaan, (15) di Nol KM Yogyakarta. Aksi tersebut digelar untuk menyuarakan tuntutan kepada pemerintah agar WA mendapat keadilan dan terbebas dari tuntutan hukum. Aksi ini dihadiri oleh berbagai komunitas, seperti Srikandi Lintas Iman, Solidaritas Perempuan Kinasih, Samsara, Nada Bicara, hingga Lembaga Bantuan Hukum. Aksi diawali dengan orasi, pembacaan puisi, dan kemudian pernyataan sikap oleh perwakilan dari komunitas yang hadir.
Latar belakang pelaksanaan aksi ini adalah penjatuhan hukuman penjara enam bulan kepada WA yang dianggap tidak adil. WA mengalami kehamilan karena diperkosa oleh saudara kandungnya. Situasi tersebut kemudian menyudutkan WA untuk mengakhiri kehamilan yang tidak diinginkannya. WA kemudian dijerat Pasal 77 ayat A juncto Pasal 45 A Undang-Undang Perlindungan Anak (UU PA). Tirzah Jessica, Koordinator Lapangan, mengatakan bahwa pemidanaan WA merupakan kasus yang tidak mungkin terjadi apabila pemerintah memang berkomitmen menciptakan ruang yang aman bagi anak. Menurutnya, WA masih dalam usia anak sehingga dirinya dilindungi oleh UU PA. “Pemidanaan WA menyebabkan ia kehilangan haknya atas akses pendidikan yang layak dan hal tersebut bertentangan dengan Pasal 49 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU PA,” tuturnya.
Selain itu, Meila Nurul Fajriah, partisipan aksi dari LBH Yogyakarta, menuturkan kasus yang terjadi di Jambi tersebut merupakan bentuk kelalaian Kepolisian atas mandat PP No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Ia juga mengatakan tindakan aborsi dapat dilakukan apabila terdapat indikasi kedaruratan medis atau korban perkosaan. Menurutnya, hal tersebut telah diatur dalam Pasal 31 Ayat 1 PP No. 61 Tahun 2014. “Setiap penyintas kekerasan seksual dan perkosaan memiliki hak untuk mengakses layanan aborsi yang aman dan legal,” ungkapnya.
Tirzah juga menyebutkan bahwa tindakan aborsi telah diatur dalam pasal 75 ayat 2 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Namun, ia menyayangkan kedua landasan hukum tersebut menyebutkan aborsi dapat dilakukan apabila kehamilan berada pada usia enam minggu (UU No. 36 Tahun 2009) atau empat puluh hari (PP No. 61 Tahun 2014). “Peraturan tersebut dibuat tanpa mempertimbangkan masa trauma penyintas perkosaan dan tenggang waktu untuk mengetahui kehamilan,” tuturnya.
“Negara telah lalai dan abai dalam memberikan hak mendasar warga negaranya, akses terhadap layanan hak kesehatan seksualitas dan reproduksi,” seru Tirzah dalam akhir orasinya. Tirzah juga menyatakan negara justru menunjukkan sikapnya yang tidak memihak terhadap para penyintas kekerasan seksual. “Perempuan dalam kondisi yang serba salah, melapor justru berujung pada victim blamming, makanya kita desak pemerintah agar segera mengesahkan RUUPKS,” tuturnya.
Orasi dan pernyataan sikap kemudian diakhiri dengan pembacaan delapan butir tuntutan. Pertama, meminta Pengadilan Negeri Muara Bulian membebaskan WA dari seluruh tuntutan hukum yang tidak semestinya ia dapatkan. Kedua, meminta Kepolisian RI memberikan perhatian dan pemenuhan keadilan bagi penyintas perkosaan dengan mempertimbangkan perilaku yang sensitif gender. Ketiga, meminta Kemenkes dan Kemendiknas memberikan pendidikan seksualitas dan reproduksi yang komprehensif. Keempat, meminta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengawal kasus perkosaan WA. Kelima, meminta Kemendikbud menjamin hak WA dan anak perempuan Indonesia yang mengalami perkosaan untuk melanjutkan pendidikan sesuai dengan UU No. 35 Tahun 2014. Keenam, meminta Kemensos memastikan keluarga WA berhak memperoleh hak-haknya, seperti BPJS dan kartu sejahtera. Ketujuh, meminta Kepolisian dan Pemerintah Jambi memastikan tidak ada pengusiran terhadap WA sekeluarga. Kedelapan, meminta DPR RI segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUUPKS).
Terkait aksi solidaritas tersebut, Tirzah menyatakan penegak hukum menutup mata terhadap keberadaan peraturan lain yang melindungi penyintas perkosaan. Selain itu, ia juga menyayangkan sikap penegak hukum yang tidak sensitif terhadap penyintas perkosaan. Ia berharap aksi tersebut dapat menjadi momen konsolidasi bagi siapapun yang peduli untuk menyuarakan keadilan bagi para penyintas kekerasan seksual. “Semoga bisa menyadarkan masyarakat luas untuk terus menciptakan rasa aman bagi penyintas kekerasan seksual agar tidak ada WA lain pada kemudian hari,” tandasnya.
Penulis: Anisa Nur Aini
Penyunting: Henny Ayu Amalia