Balairungpress
  • REDAKSI
    • LAPORAN UTAMA
    • KILAS
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
    • BERITA JOGJA
  • NALAR
    • KAJIAN
    • WAWASAN
  • REHAT
    • BUKU
    • FILM
    • SASTRA
    • OPINI
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
Pos Teratas
Perempuan dalam Belenggu Patriarki
Andil Penguasa dalam Ketidakadilan Kasus Munir
Dengungan Buzzer Politik dalam Aksi Gejayan Memanggil
Pengarsipan Ruang dan Ingatan Sejarah mengenai Kaliurang
Herlambang P. Wiratraman : Kuasa Modal dan Politik...
Hipnoterapi, Terapi Komplementer Alternatif Penunjang Kesehatan Mental
Dilema Penelitian Dosen Indonesia di Tengah Agenda Neoliberal
Kekacauan Informasi di Era Banjir Informasi
Damar Juniarto: Perlunya Meningkatkan Kesadaran Masyarakat mengenai Perlindungan...
Rumah Pengetahuan sebagai Upaya Perluasan Ruang Demokrasi

Balairungpress

  • REDAKSI
    • LAPORAN UTAMA
    • KILAS
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
    • BERITA JOGJA
  • NALAR
    • KAJIAN
    • WAWASAN
  • REHAT
    • BUKU
    • FILM
    • SASTRA
    • OPINI
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
EUREKAKABARNALARWAWASAN

Lepasnya Aliran Kepercayaan dari Belenggu Diskriminasi

9 Desember 2017

 

©Fitria/Bal

Aliran kepercayaan seringkali mengalami diskriminasi dari kaum mayoritas karena dianggap sesat. Diskriminasi ini mengakibatkan timbulnya perlawanan untuk mendapatkan kesetaraan

 

Pada Selasa (10-10) lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi pasal 61 ayat (1) dan (2), pasal 64 ayat (1) dan (5) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk). Majelis Hakim MK menyatakan bahwa status penghayat kepercayaan dapat dicantumkam dalam kolom agama di kartu keluarga dan kartu tanda penduduk (KTP) elektronik tanpa perlu merinci aliran kepercayaan yang dianut. Keputusan ini dikeluarkan setelah perwakilan empat aliran kepercayaan  (Marapu, Parmalim, Ugamo Bangso Batak, Sapta Darma) melakukan gugatan ke MK. Undang-undang tersebut mengatakan para penghayat akan mendapatkan lambang strip pada kolom agama dan tetap dilayani. Akan tetapi, terkadang penganut aliran kepercayaan terpaksa memilih salah satu agama resmi untuk menggantikan lambang strip. Menurut Saldi Isra selaku hakim MK yang terlibat dalam sidang permohonan uji materi, undang-undang ini berlawanan dengan UUD 1945, karena harusnya pemeluk  kepercayaan dan agama mendapatkan jaminan dari negara .

Sebelum terdapat keputusan ini, penganut agama lokal terpaksa bergabung secara kelembagaan ke dalam enam agama yang diakui pemerintah yaitu Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu, dan Khonghucu. Mereka dipaksa menjalankan ibadah serta mematuhi aturan-aturan yang mengikat dalam agama resmi. Departemen Agama Indonesia mensyaratkan bahwa agama harus memiliki wahyu Tuhan, nabi, kitab suci, dan pengakuan internasional. Sementara syarat-syarat ini tidak dimiliki oleh aliran kepercayaan yang merupakan agama lokal. Anggota Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI), Engkus Ruswana, mengatakan, “Penghayat itu sebenarnya agama. Ya karena pada dasarnya istilah agama itu sendiri adalah berasal dari kata Bahasa Kawi. Jadi asli frasa agama itu untuk sistem keyakinan yang ada di dalam negeri sebetulnya, yang dari bumi Nusantara.”

Negara pun tanpa disadari telah menciptakan ambiguitas dalam kebijakannya. Di satu sisi negara membebaskan warga negaranya untuk menganut suatu aliran kepercayaan. Namun, di sisi lain negara mengharuskan aliran kepercayaan untuk bergabung ke dalam enam agama resmi. Ambiguitas ini menyebabkan beberapa masyarakat menganggap aliran kepercayaan ilegal. Sehingga, melahirkan perlakuan diskriminatif dari masyarakat kepada penganut aliran kepercayaan. Diskriminasi terjadi dalam dua bentuk yaitu diskriminasi yang bersifat administratif dan diskriminasi sosial.

Diskriminasi administratif berupa sulitnya membuat KTP, antara lain seperti petugas pegawai desa dan kecamatan yang beralasan tidak bisa melayani pembuatan KTP karena mesin cetak rusak. Permasalahan ini dapat berdampak pada kualitas pelayanan publik pemerintah. Dalam UU Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan menyatakan bahwa KTP digunakan sebagai dasar penerbitan dokumen resmi seperti Paspor, SIM, NPWP, Polis Asuransi, Sertifikat Hak Atas Tanah, Dokumen Identitas lainnya.

Sementara diskriminasi sosial dilakukan oleh kelompok mayoritas dalam beberapa hal terkait peribadatan[1]. Salah satu aliran kepercayaan yang mengalami diskriminasi sosial adalah Sapta Darma, aliran kepercayaan di Yogyakarta yang akan kami bahas lebih lanjut. Sapta Darma menghadapi kecaman dalam membangun tempat ibadah oleh Front Pembela Islam (FPI). Banyak warga yang tidak memiliki kewenangan mempermasalahkan izin pembangunan. Pada tahun 2008 FPI bahkan menyerang Candi Busono, tempat ibadah Sapta Darma di Gamping, Yogyakarta.

Banyaknya diskriminasi menyebabkan aliran kepercayaan melakukan perlawanan. Perlawanan-perlawanan ini membuat Didit Aditia Permana, mahasiswa S2 Politik dan Pemerintahan tertarik untuk menjadikannya sebagai topik tesis yang difokuskan pada perlawanan Sapta Darma. Tesis ini berjudul Strategi Perlawanan Kaum Minoritas (Studi Tentang Strategi Perlawanan Aliran Kepercayaan Sapta Darma terhadap Dominasi Negara dan Agama Mayoritas di Yogyakarta).

Sapta Darma sendiri adalah salah satu aliran kepercayaan yang ada di Indonesia. Ajaran Sapta Darma muncul pada Desember 1952 di Pare, Kediri, Jawa Timur. Seseorang bernama Hardjosapoera mengaku bahwa dirinya telah mendapat wangsit saat sedang berada di kediamannya. Kelak Hardjosapoera disebut sebagai Panuntun Agung Sri Gutama (Pelopor Budi Luhur) yang bertugas menyebarkan ajaran kerokhanian Sapta Darma. Tujuan dari ajaran inti Sapta Darma adalah membimbing manusia mencapai suatu kebahagiaan hidup dunia akhirat dengan cara percaya kepada Hyang Maha Kuasa dan diri sendiri, mencintai sesama manusia dan harus tolong-menolong.

Berbagai tudingan dan tekanan dari masyarakat terkait apa yang mereka anut menimbulkan reaksi berupa rasa ingin melawan. Perlawanan  yang dilakukan berbentuk perlawanan tertutup dan perlawanan terbuka. James Scott, penulis buku Senjatanya Orang-Orang yang Kalah Bentuk-Bentuk Perlawanan Sehari-Hari Kaum Tani, mengatakan perlawanan terbuka memiliki sifat sistematik, kooperatif, berprinsip tidak mementingkan diri sendiri, sedangkan perlawanan tertutup bersifat tidak teratur, terjadi secara individual, dan bersifat oportunistik.

Perlawanan tertutup yang dilakukan Sapta Darma antara lain mengusahakan pencantuman nama kepercayaan di KTP dan adaptasi terhadap lingkungan. Warga Sapta Darma melakukan adaptasi dengan berusaha untuk aktif dan berkontribusi dalam setiap kegiatan desa. Seperti menyediakan tempat untuk rapat RT/RW hingga mengadakan pertunjukan wayang yang saat ini sudah jarang digelar. Adaptasi ini merupakan salah satu upaya warga Sapta Darma agar memiliki citra yang baik di lingkungannya.

Di sisi lain, Sapta Darma juga melakukan perlawanan terbuka seperti menyelenggarakan konferensi pers yang mengecam penyerangan 2008 oleh FPI dan pembangunan candi Sapta Rengga di Surokarsan. Tujuan dari perlawanan terbuka ini selain untuk menunjukkan eksistensinya juga untuk meminta bantuan hukum kepada Komnas HAM dan seluruh jajaran instansi pemerintah yang terkait termasuk pihak kepolisian.

Berbagai reaksi muncul sebagai timbal balik dari perlawanan yang dilakukan warga Sapta Darma. Negara sempat menanggapi perlawanan ini diantaranya melalui Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Nilai Budaya, Seni dan Film dengan menerbitkan surat resmi No. 483/SB/NBSF/X/08 yang menegaskan bahwa kerohanian Sapta Darma sudah terdaftar dalam Direktorat Kepercayaan Departemen Dalam Negeri Sebagai Pembina Umum Organisasi Politik dan Kemasyarakatan. Sehingga Sapta Darma bukan merupakan aliran sesat seperti yang dianggap oleh masyarakat. Surat ini juga dikirm ke beberapa instansi salah satunya kepala desa balecatur.

Dengan begitu keluar surat dari Kepala Desa Balecatur No.153/PP/Blc/2008 yang secara khusus ditujukan pada Supriyadi selaku penanggung jawab kerohanian Sapta Darma di Parengkembang, Balecatur, Gamping, yang memperbolehkan kerohanian Sapta Darma melakukan ibadah, dengan catatan tidak mencantumkan agama Islam atau agama lain namun atas nama Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa. Sebab Sapta Darma memang tidak terkandung dalam ajaran agama Islam atau agama lain.

Keputusan MK terkait permohonan uji materi yang merupakan puncak kesuksesan perlawanan ini disambut dengan suka cita oleh penghayat aliran kepercayaan. Namun keputusan ini tidak lepas dari pro dan kontra di masyarakat. Pada 22 November lalu, Ketua pengurus daerah Muhammadiyah kota Solo, Subari, menilai putusan MK yang mengabulkan gugatan terkait pengisian kolom agama di KTP memunculkan permasalahan baru. Di bidang pendidikan pemerintah harus menyediakan tenaga pengajar bagi penghayat kepercayaan. Sementara pencantuman akan membingungkan petugas pencatatan semisal Kantor Urusan Agama, serta penyediaan penghulu pernikahan.

Peneliti dalam judul tesisnya ingin mengatakan bahwa negara melakukan dominasi terhadap kaum minoritas. Kenyataannya negara hanya tidak tegas dalam mengeluarkan kebijakan. Ketidaktegasan inilah yang akhirnya menjadi ambigu di mata masyarakat dan menjadi penyebab diskriminasi yang dilakukan oleh masyarakat, namun bukan berarti  negara mendiskriminasi kaum minoritas.

Pada akhirnya perlawanan dari para penghayat dalam hal ini Sapta Darma, mendapatkan respon positif dari pemerintah dan beberapa elemen masyarakat. Perlu digarisbawahi bahwa perlawanan yang dilakukan oleh Sapta Darma tidak terfokus hanya untuk mendapatkan pengakuan di KTP atau dokumen negara lainnya. Namun perlawanan yang dilakukan dengan damai ini berusaha untuk menghilangkan diskriminasi oleh negara dan kaum mayoritas terhadap penghayat aliran kepercayaan. Sebagai negara yang menganut ideologi Pancasila sudah sepantasnya pemerintah membangun Indonesia melalui prinsip Ketuhanan, bukan Keagamaan.

 

Penulis: Wida Dhelweis, Olivia Prastiti (magang)

Editor: Kenny Setya Abdiel

[1] Dinesh Bhugra. (2016) Social discrimination and social justice. International Review of Psychiatry 28:4, pages 336-341

aliran kepercayaandiskriminasikebijakanktp
2
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Tempat Ibadah dalam Miniatur Angan-Angan

Surat Pernyataan

Pacu Kuda Buru Juara

Upaya Pakualaman Melestarikan Kebudayaan melalui Kejuaraan Pacuan Kuda

Menelaah Kebijakan dan Sifat Pajak Dosa

Menggugat Keistimewaan Upah Murah di Jogja

Berikan Komentar Batal Membalas

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Pos Terbaru

  • Perempuan dalam Belenggu Patriarki

    9 Desember 2019
  • Andil Penguasa dalam Ketidakadilan Kasus Munir

    8 Desember 2019
  • Dengungan Buzzer Politik dalam Aksi Gejayan Memanggil

    5 Desember 2019
  • Pengarsipan Ruang dan Ingatan Sejarah mengenai Kaliurang

    3 Desember 2019
  • Herlambang P. Wiratraman : Kuasa Modal dan Politik Mendisiplinkan Kebebasan Akademik

    3 Desember 2019

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest
Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • MASTHEAD
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2019 BPPM BALAIRUNG UGM