
©Istimewa
“Meikarta Bisnis Properti dan Keadilan di Atas Kota” menjadi tajuk diskusi yang diadakan Magister Administrasi Publik (MAP) Corner pada Selasa (17-10). Dalam diskusi ini membahas pembangunan megaproyek Meikarta dan pembangunan Kota di Yogyakarta. Diskusi tersebut bertempat di Lobi MAP Fisipol UGM. Forum ini mengundang dua pembicara, yakni Gregorius Sri Wuryanto selaku Dosen UKDW Yogyakarta dan Dodok Putra Bangsa selaku Aktivis Jogja Ora Didol.
Forum ini dibuka dengan pernyataan Gregorius yang menyatakan bahwa ada masalah pada pembangunan Meikarta. Menurutnya pembangunan Meikarta sudah membangun persepsi buruk masyarakat terhadap Jakarta yang sudah tidak layak huni. “Hati-hati dengan persepsi, karena persepsi membentuk kuasa dan kuasa itu akan mengontrol semua tindakan kita,” tutur Gregorius. Menurutnya, kecurangan Meikarta adalah karena mereka membuat komparasi yang tidak adil, hanya membandingkan Jakarta dari sisi gelap dengan Meikarta dari kemewahan.
Berbeda dengan pernyataan Gregorius, Dodok lebih membahas tentang pembangunan yang terjadi di Yogyakarta. Menurutnya, permasalahan pembangunan di Yogyakarta dikarenakan perizinan yang kurang tegas. Perizinan dianggap hanya sebagai administratif tanpa pelaksanaan. “Pembangunan di Yogyakarta ini mulai dari Kulonprogo, Wonosari, Bantul, dan Sleman semua masalahnya ada di perizinan yang dimainkan, diotak-atik, dan dikemas seindah dan sehalus mungkin supaya bisa dilanggar,” ujar Dodok.
Selain itu, Dodok juga mengungkapkan bahwa masalah lain dalam pembangunan di Yogyakarta adalah pembangunan tidak utuh dan tidak melibatkan masyarakat. Pembangunan dikatakan tidak utuh, dikarenakan tidak adanya perencanaan yang konkret seperti lama pengerjaan, tujuan mendirikan bangunan, dan luas lahan. Dodok juga menambahkan, seluruh kota saat ini dibangun berdasaran modernisasi pembangunan jangka panjang. Tidak melibatkan rakyat dalam perencanaannya. “Pembangunan seharusnya melibatkan peran masyarakat dari awal dan berkeadilan lingkungan,” ujar Dodok
Menanggapi diskusi ini, Adi, salah satu peserta, mengamini apa yang disampaikan oleh Dodok tentang kurang melibatkan warga dalam pembangunan di Yogyakarta. Sebab menurutnya, Informasi yang diterima oleh warga kurang merata. “Contohnya pembangunan di Kulonprogo, masih banyak warga yang menolak, menerima, dan menerima dengan syarat, artinya informasi ini tidak sepenuhnya sampai tentang apa yang akan terjadi,” pungkas Adi.
Peserta lain, Arif, berharap dengan adanya diskusi seperti ini membuat peserta mendapat sudut pandang lain terhadap pembangunan kota. “Di Yogyakarta sendiri masalah-masalah dan perlawanan masyarakat malah jarang diangkat dan didiskusikan,” tutur Arif. Dia juga berharap, dengan adanya diskusi ini, peserta bisa mengetahui akar masalah dan menemukan solusi pembangunan kota.
Penulis: Rinaldi Hadisaputra, Vionita Widyasari(Magang)
Editor: Farid Zakaria