Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Sampai Kapanpun, Aparat Bukanlah Manusia!
Polisi Tidur
Solidaritas Warga Warnai Aksi Jogja Memanggil
Partisipasi Publik Makin Terbatas, Ruang Sipil Kena Imbas
Demonstrasi di Mapolda DIY, Gas Air Mata Penuhi...
Jerit Masyarakat Adat Papua dalam Jerat Kerja Paksa...
Konservasi yang Tak Manusiawi
Anggaran Serampangan
Diskusi Serikat Pekerja Kampus, Soroti Ketidakjelasan Proses Etik...
Perayaan dan Perlawanan Perempuan Mahardika di Panggung Merdeka...

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
KILAS

Represi di Kampus UGM oleh Kepolisian-Ormas

April 11, 2017

©Puput/BAL

Belasan anggota Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRIWP) di Yogyakarta terlihat berkejaran dengan aparat kepolisian dan organisasi masyarakat (ormas), pada Jumat (07-04). Ormas tersebut diantaranya adalah Pemuda Pancasila dan Bergodo Prajurit Paksi Katon. Sekitar pukul 09.00, para peserta aksi tersebut tengah melakukan persiapan aksi di Foodcourt UGM. Awalnya, mereka berencana untuk menyelenggarakan aksi bertajuk “Tutup Freeport dan Berikan Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi Rakyat Papua Barat” di Taman Boulevard, UGM.  Namun, belum sempat melaksanakan aksi, mereka dihadang dan dipaksa bubar oleh beberapa anggota kepolisian dan ormas.

Danang, selaku anggota FRIWP, mengatakan bahwa setelah kegiatan penghadangan tersebut, beberapa polisi dan ormas berusaha merebut atribut aksi. Menurut Danang, perbandingan jumlah peserta aksi dengan penyerangnya tidak seimbang. Oleh sebab itu, mereka berencana untuk kembali ke foodcourt sambil menunggu peserta aksi lain yang akan datang.”Namun ketika kami berusaha mundur, kami mendengar ada seruan untuk mengejar dan menangkap kami. Akhirnya kami berlari,” jelas Danang.

Di depan ruang sekretariat Dewan Mahasiswa (Dema) Justicia FH, para peserta aksi berusaha berlindung sembari bercerita kepada mahasiswa perihal peristiwa yang baru saja mereka alami. Kemudian tiba-tiba pihak kepolisian datang menyerobot dan berteriak menuntut bukti surat tanda terima pemberitahuan aksi. Polisi juga berusaha membawa paksa mahasiswa yang diidentifikasi sebagai orang Papua. Sontak setelah kejadian tersebut, keadaan menjadi ricuh karena aksi tarik-menarik antar mahasiswa dan polisi kembali terjadi, seperti yang terekam di sini.

Bengriadi, selaku perwakilan dari Serikat Kebudayaan Masyarakat Indonesia, menyayangkan represi yang dilakukan polisi dan ormas. Menurutnya, surat pemberitahuan tersebut sebenarnya telah diberikan, tetapi polisi dan ormas tetap melakukan penyerangan. Emanuel Gobay, perwakilan dari Lembaga Bantuan Hukum membenarkan pernyataan tersebut. Menurutnya, tugas kepolisian seharusnya menjalankan fungsi penjagaan dan pengawalan terhadap kegiatan masyarakat seperti yang  tertera dengan jelas dalam pasal 14 ayat 1a UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan peraturan perizinannya.

Gobay menjelaskan perihal kebebasan berpendapat di mimbar bebas juga sudah tercantum dalam UU No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Dengan demikian, menurutnya, tindakan tersebut  bahkan bisa dianggap sebagai kejahatan karena membatasi ruang gerak masyarakat untuk menyampaikan pendapat. Kekerasan dan represi semacam ini kerap dialami oleh masyarakat Papua yang ada di Yogyakarta ketika ingin menyuarakan isu penindasan di Papua. “Jika hal ini dibiarkan terus menerus, maka yang terjadi adalah pembodohan undang-undang perlindungan HAM dan demokrasi,” tegasnya.

Akhinya setelah peserta aksi dan pihak keamanan kampus bernegosiasi, mereka menyepakati bahwa aksi tersebut akan ditunda dengan beberapa syarat. Syarat tersebut adalah pembersihan kepolisian dan ormas dari area kampus, dan publikasi mengenai kronologi pembubaran aksi. “Untuk ke depannya semoga represi semacam ini tidak akan terjadi lagi,” harap Danang. [Citra Maudy, Khumairoh]

AkademikaksikilasPapuapolisirepresi
1
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Solidaritas Warga Warnai Aksi Jogja Memanggil

Partisipasi Publik Makin Terbatas, Ruang Sipil Kena Imbas

Demonstrasi di Mapolda DIY, Gas Air Mata Penuhi...

Jerit Masyarakat Adat Papua dalam Jerat Kerja Paksa...

Diskusi Serikat Pekerja Kampus, Soroti Ketidakjelasan Proses Etik...

Perayaan dan Perlawanan Perempuan Mahardika di Panggung Merdeka...

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Sampai Kapanpun, Aparat Bukanlah Manusia!

    September 9, 2025
  • Polisi Tidur

    September 6, 2025
  • Solidaritas Warga Warnai Aksi Jogja Memanggil

    September 5, 2025
  • Partisipasi Publik Makin Terbatas, Ruang Sipil Kena Imbas

    September 3, 2025
  • Demonstrasi di Mapolda DIY, Gas Air Mata Penuhi Pemukiman Warga

    September 2, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM