Yogyakarta Gamelan Festival kembali digelar. Festival gamelan berskala internasional yang dihelat oleh Komunitas Gayam 16 ini memasuki tahun ke-19. Bertempat di Taman Budaya Yogyakarta, acara tersebut diselenggarakan selama tiga hari berturut-turut, Kamis-Sabtu (21-23/8) dengan mengusung tema “Belongs to Everyone”. “Sebuah kenyataan bahwa gamelan seharusnya sudah menjadi milik semua orang,” ungkap Setyaji Dewanto, General Manager Yogyakarta Gamelan Festival, dalam press release yang dikeluarkan pada hari Selasa (19/8). Ia juga mengungkapkan, sudah saatnya manusia menghargai keberadaan gamelan.
Dalam 19th Yogyakarta Gamelan Festival ini, pengunjung bisa menikmati pertunjukan musik gamelan yang berasal dari berbagai daerah. Para penampil pun datang dari beberapa tempat seperti Bantul, Pacitan, dan Solo. Selain itu, ada pula penampil dari luar negeri seperti China, Mexico, dan Amerika.
Acara ini tidak hanya menampilkan pertunjukan musik, tetapi juga pameran dari Kowplink Studio. Gamelan DJ, sebuah aplikasi musik berbasis Android yang memadukan instrumen tradisional dan modern, juga ditampilkan dalam pameran ini. Ada pula karya berupa aplikasi berbasis komputer dengan menggunakan kinect, sebuah teknologi air motion gesture yang menggabungkan musik, tarian, kultur lokal, dan edukasi. Memadukan lima ragam alat musik tradisional Indonesia, aplikasi ini mampu menjadi sarana pengenalan alat musik tradisional menjadi lebih kekinian.
Pada hari terakhir gelaran 19th Yogyakarta Gamelan Festival, workshop digelar di Lobby Societet Taman Budaya Yogyakarta. Seniman Rinding Gumbeng Nguri Seni dari Gunung Kidul hadir sebagai pembicara. Acara yang dibuka pukul 15.00 WIB ini mengusung tema Musik Mulut. Rinding, sebuah alat musik dari bambu yang dimainkan menggunakan mulut, menjadi topik yang akan dibahas dalam workshop.
Selama sembilan belas tahun, Yogyakarta Gamelan Festival selalu menjadi ajang yang ditunggu-tunggu para pecinta gamelan. Tidak hanya para pemain, festival ini juga menjadi ajang berkumpul para penikmat gamelan yang hanya sekedar mendengarkan alunan musik. Yogyakarta Gamelan Festival menjadi media para pemain gamelan untuk memamerkan karya-karya mereka. Melalui festival ini, Setyaji berharap pola pikir generasi muda terhadap budaya bangsa yang selama ini dianggap kuno bisa berubah. “Menggagas kehidupan seni gamelan yang dinamis, selalu menyelaraskan diri dengan zaman tanpa harus kehilangan latar belakang budayanya dan saling menghargai keanekaragaman kebudayaan di dunia menjadi visi diselenggarakannya Yogyakarta Gamelan Festival ini,” ujar Setyaji.
Kini, gamelan sebagai warisan budaya bangsa sudah diakui dan dipelajari oleh negara-negara di dunia. Di usianya yang ke-19, Yogyakarta Gamelan Festival patut disejajarkan dengan festival kelas dunia lainnya. “Sudah saatnya Yogyakarta Gamelan Festival menjadi ‘icon’ Yogyakarta,” pungkasnya. [Ervina Lutfikasari]