Balairungpress
  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
Newest post
Perayaan dan Perlawanan Perempuan Mahardika di Panggung Merdeka...
Kampus Kelabu bagi Perempuan
Diskusi Proyek Penulisan Sejarah Resmi, Soroti Ketiadaan Peran...
Sisi Lain Makanan Tradisional dalam Buku Sepinggan Indonesia
Warga Pesisir Semarang dalam Getir Tata Kelola Air
Kekacauan di Balik Bahan Bakar Hijau
Mitos Cah Gelanggang dan Spirit Gelanggang
Penulisan Ulang Sejarah, Upaya Pemerintah Melupakan Korban Pelanggaran...
Mitos Terorisme Lingkungan
Aksi Okupasi UGM Soroti Masalah Penyempitan Ruang Kegiatan...

Balairungpress

  • REDAKSI
    • KILAS
    • ALMAMATER
    • LAPORAN UTAMA
    • APRESIASI
    • INSAN WAWASAN
  • NALAR
    • WAWASAN
    • KAJIAN
  • REHAT
    • ARSIP
    • BUKU
    • FILM
    • OPINI
    • SASTRA
  • BINGKAI
    • ANALEKTA
    • INFOGRAFIS
    • KOMIK
    • PERISTIWA
    • SKETSA
  • PIPMI
    • Direktori
    • Suplemen
    • PUBLIKASI
  • ENEN
  • IDID
KABAR

‘Autis’ yang Tidak Tepat (Bahasa)

November 3, 2011
istimewa

istimewa

“Stop using word ‘autis’ in daily joke!”. Pesan ini yang disampaikan dalam peringatan Hari Peduli Autis Sedunia setiap 2 April. Peringatan tahun ini baru yang ketiga kalinya setelah PBB menetapkan tanggal tersebut pada 2008. Selama ini terminologi ‘autis’ sudah biasa menjadi bahasa candaan. Kata ini biasa ditujukan pada orang yang sedang asyik dengan dunianya sendiri sehingga tidak peduli dengan sekelilingnya.

Autis merupakan gangguan perkembangan pada anak yang mulai tampak sebelum ia berusia tiga tahun. Penderita autis cenderung tidak peduli terhadap lingkungan sekitar, bermain sendiri, sulit berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain. Ia sulit memahami bahasa sehingga komunikasi secara verbal sukar dijalin. Emosinya labil, perilakunya hiperaktif, bahkan kadang marah dan menangis.

Belakangan, perilaku sejumlah orang yang sudah kecanduan bermain smartphone, game online, atau bahkan membaca buku kerap dijuluki ‘autis’. Ini merujuk pada sikap mereka yang asyik sendiri dan mengabaikan sekelilingnya. Penggunaan kata autis di sini barangkali ada kesamaan unsur dengan kata alienasi. Alienasi juga mengandung makna kesendirian, tetapi kesendirian yang asing, keterasingan. Pecandu teknologi komunikasi ini bukan terasing, melainkan mengasingkan diri. Mereka punya lingkungan sosial yang bisa diajak berinteraksi, tetapi lebih memilih asyik dengan dunia virtual.

Kata ‘gila’, misalnya, bisa dimaknai sebagai penyakit kejiwaan, kurang akal. ‘Gila’ juga bermakna gandrung, seperti ‘gila bola’. ‘Gila’ sudah sedemikian biasa kita gunakan. Tidak ada yang marah kalau kita mengumpat “Gila!” ketika mendengar ide ngawur dari seorang teman. Bahkan ‘gila’ juga bisa mengekspresikan keheranan yang mengandung kekaguman seperti ketika melihat atraksi sirkus yang atraktif sekaligus membahayakan. Seperti gagasan Foucault dalam History of Madness bahwa gila tidak hanya diukur secara empiris, tapi juga melibatkan norma sosial di sekelilingnya.

Pengunaan kata autis kini dipermasalahkan berpangkal dari kurangnya pemahaman tentang penyakit autis. Ada yang punya pemahaman bahwa autis sama dengan idiot. Padahal keduanya berbeda. Kebanyakan anak autis berintelegensi normal. Sebagian dari mereka justru luar biasa berbakat di berbagai bidang, seperti, bermain musik dan menggambar. Karena dianggap sebagai penyakit, penggunaan kata ‘autis’ bermakna peyoratif. Orang normal pecandu teknologi komunikasi yang lantas menjadi asosial tiba-tiba saja dilabeli autis. Di sini kata autis mengalami penurunan makna, ada penekanan kesan abnormal di situ. ‘Autis’ tidak seperti ‘gila’ yang sudah biasa digunakan di luar ranah empiris medis dan psikologi.

Terang, ini membuat para pemeduli autis tersinggung. Autis tidak tepat dan tidak selayaknya digunakan sebagai olok-olokan dalam perspektif etika dan estetika. Etika, karena dalam tataran pemahaman autis sudah gagal dipahami secara benar. Asyik dengan dunia sendiri memang salah satu gejala autis, tapi ia bukan satu-satunya dan segalanya. Tidak layak secara estetis karena autis dibawa ke dalam ranah candaan bahkan olokan yang berpotensi menyakiti orang lain. Tetapi kalau pemakaian ini terus berkembang, suatu saat mungkin saja ‘autis’  menemukan arti yang lebih ‘sosial’, melampaui ruang empiris medis dan psikologi. [Nabilah]

 

2 Aprilhari peduli autis seduniaStop using word autis in daily joke
0
Facebook Twitter Google + Pinterest

Artikel Lainnya

Peringatan Hari Perempuan Sedunia 2022 Tuntut Bebaskan Perempuan...

Tuntut Audiensi dan Pencabutan IPL, Aksi untuk Wadas...

Penyintas Kekerasan Tuntut Keadilan Lewat Karya Tulis

Di Balik Kampanye Antitembakau, Industri Farmasi Monopoli Nikotin

Pelarangan Senjata Nuklir Kian Mendesak di Tengah Konflik...

Survei LSI: Masyarakat dan Partai Politik Kompak Menolak...

Berikan Komentar Batal Membalas

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pos Terbaru

  • Perayaan dan Perlawanan Perempuan Mahardika di Panggung Merdeka 100%

    Agustus 18, 2025
  • Kampus Kelabu bagi Perempuan

    Agustus 9, 2025
  • Diskusi Proyek Penulisan Sejarah Resmi, Soroti Ketiadaan Peran Masyarakat

    Juli 21, 2025
  • Sisi Lain Makanan Tradisional dalam Buku Sepinggan Indonesia

    Juli 20, 2025
  • Warga Pesisir Semarang dalam Getir Tata Kelola Air

    Juni 30, 2025

Jurnal Balairung Vol. 2 No. 2 (2020)

Infografis

Moral Tanpa Tuhan

Sampah Kota Ditopang Swadaya Warga

Berebut Gunungkidul

Yu Par, Legenda Kantin bonbin

Menyambut Coming Out Age dengan Berubah Menjadi Panda

Hubungi Kami

Facebook Twitter Instagram Pinterest

Ads

Footer Logo
  • TENTANG KAMI
  • PEDOMAN MEDIA SIBER
  • AWAK
  • KONTAK
  • KONTRIBUSI

©2022 BPPM BALAIRUNG UGM